Oleh Sumbo Tinarbuko
Kekerasan menurut Kamus Bahasa Indonesia: perbuatan seseorang atau  kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain.  Kekerasan dapat juga diartikan sebagai sebuah perilaku yang  menyebabkan  kerusakan fisik atau barang orang lain.
Dewasa ini, kekerasan menjadi sebuah fenomena. Karena berbentuk  sebuah fenomena, maka kekerasan seterusnya menjadi ‘barang’ komoditas  yang laku keras dalam bursa jual beli informasi komunikasi visual.
Bentuk konkret komodifikasi kekerasan dapat disaksikan pada tayangan  kekerasan yang disuguhkan media massa secara detail dan vulgar. Efek  dari komodifikasi kekerasan itu ditengarai menjadi semacam peternakan  baru atas kekerasan berikutnya. Kekerasan yang disuguhkan pada  masyarakat oleh warga masyarakat sendiri terjadi akibat ketidakpuasan  sesaat atas sebuah keadaan tertentu. Realitas kekerasan semacam itu   kemudian direkam dan ditayangkan media massa. Bagi para pelaku  kekerasan, keberadaan fenomena kekerasan seakan-akan menjadi buku ajar  dan referensi wajib yang memiliki energi kuat untuk memunculkan  kekerasan berikutnya, tentu  dengan intensitas kekerasan yang lebih  keras.
Karena sumber rujukannya sama, maka bentuk gerakan kekerasannya pun  sebangun. Diawali dengan penggalangan massa. Mereka berteriak dalam aura  kemarahan yang membuncah. Selanjutnya bergerak untuk merusak,  membongkar, membakar apa pun yang ada di sekitarnya. Ketika suasana  semakin memanas, maka ‘sang kekerasan’ akan memakan korban yang  mengakibatkan luka-luka bahkan meningggal dunia.
Hal itu setidaknya dapat disaksikan pada fenomena kekerasan yang  baru-baru ini  membara di Cikeusik Banten dan Temanggung Jawa Tengah.  Sementara pelaku kekerasan seakan mendapatkan legitimasi sosial manakala  aksi kekerasan yang mereka pertontonkan diliput media massa dan  ditayangkan terus secara berkelanjutan.
Akhirnya, bagi para pelaku, kekerasan diposisikan menjadi bahasa baru  untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dalam kehidupan  sehari-hari. Pada tataran berikutnya, amuk massa seolah-olah menjadi  ‘solusi cantik’ yang dianggap mampu memuaskan hasrat kekerasan pelaku  kekerasan. Mereka senantiasa menggali energi negatif berwujud tabiat  kasar. Visualisasinya digambarkan dalam sosok maskulin yang berteriak  lantang guna memaksakan kehendaknya untuk dituruti.
Pertanyaannya, kenapa fenomena kekerasan dari waktu ke hari semakin  mengeras? Apa yang mereka cari dalam perseteruan ini? Benarkah fenomena  kekerasan sudah menjadi bahasa baru untuk mewujudkan kehendak dan  keinginan akan suatu hal oleh para pihak? Apa yang harus dilakukan untuk  menghilangkan fenomena kekerasan di Indonesia? Apakah rasa asih dan cinta kasih antar umat manusia sudah mulai pudar dari bumi Indonesia?
Pertanyaan seperti itu sejatinya sulit dijawab secara langsung. Sebab  antara hal satu dengan lainnya saling berkaitan erat. Bahkan terkesan  bagaikan benang bundhet. Tetapi yang jelas terpampang di  pelupuk mata, penghargaan atas kekaryaan seorang manusia dalam konteks  fenomena kekerasan ini, akhirnya dimatikan oleh sang manusia itu  sendiri. Padahal yang berhak untuk menentukan mati hidupnya seseorang  adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam perspektif masyarakat Jawa, sudah menjadi ketetapan adat  manakala seseorang yang sedang ditimpa masalah, maka penyelesaian  masalahnya didekati dengan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.  Leluhur orang Jawa mengajarkan pada kita: ‘’yen ana rembug dirembug, nanging olehe ngrembug kanthi sareh.’’ 
 
Orang modern memaknai piwulang becik semacam itu dengan  pengertian: jika kita sedang memiliki  masalah yang menyebabkan salah  pengertian antar parapihak, maka marilah diselesaikan dengan kepala  dingin dan hati tenang.
Nenek moyang kita juga meneladankan lelaku: ‘’aja tumindak grusa grusu, nanging tumindak kanthi landesan pikiran kang wening.’’  Teladan tersebut, jika diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari dapat  diartikan:   jika kita sedang memiliki masalah, jangan terburu-buru  bereaksi untuk memutuskan masalah tersebut secara emosial dengan tindak  kekerasan. Intisari dari teladan tersebut justru mengajarkan kepada kita  untuk senantiasa memikirkan segala sesuatunya dengan tenang.  Selanjutnya dipertimbangkan untuk diputuskan secara bijaksana dan  bermartabat.
Pesan moral yang ingin disampaikan nenek moyang kita dalam upaya  menghentikan tindak kekerasan yang sudah menjadi fenomena dan semakin  membahana ini, yakni: menjunjung tinggi akal budi demi kemaslahat umat  manusia. Implementasinya? Bagaimana upaya kita untuk senantiasa  menyeimbangkan akal pikiran dan nalar perasaan. Keseimbangan dua kutub  kekuatan fisik dan kekuatan spiritual umat manusia sangat dibutuhkan.  Hasil dari buah keseimbangan nalar perasaan dan akal pikiran akan  menjadi rekomendasi  untuk membuat sebentuk keputusan yang disepakati  bersama demi kebersamaan dan kedamaian umat manusia.
*)Sumbo Tinarbuko (http://sumbo.wordpress.com/) Pengamat Budaya  Visual dan Dosen Komunikasi Visual Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.  Artikel ini dimuat di Rubrik Analisis harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu  Legi, 12 Februari 2011.
 
 
